Penulis : Melani – Advokat dan Dosen FH Unpas
Sumber : Pikiran Rakyat 31 Mei 2018
Untuk membaca dan mengunduh Klipping Klik Gambar lalu Zoom. (semoga bermanfaat)
PERISTIWA bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo Jawa Timur yang melibatkan beberapa orang anak atas perintah orangtuanya sendiri telah mengoyak rasa kemanusian kita.
Di zaman now sebetulnya terdapat kasus lain yang tidak kalah mengerikan sekaligus sangat mencemaskan yang melibatkan anak-anak atas “sponsor” ibu kandung mereka sendiri, yaitu kasus video porno yang sidangnya mulai digelar Kamis (24/5/2014) di Pengadilan Negeri Bandung.
Terhadap kasus video porno yang melibatkan anak atas suruhan ibu mereka tersebut, sepertinya tidak ada pejabat daerah setempat yang menangis dan masyarakat pun tampaknya kurang peduli, padahal dampak dari kasus pornografi hampir sama dengan kasus terorisme, bahkan kasus pornografi boleh jadi lebih parah daripada terorisme.
Kejahatan
Video porno yang konon dipesan oleh orang Rusia yang sudah beredar baik di dalam maupun luar negeri, dibuat di dua hotel di Kota Bandung, korbannya adalah tiga orang bocah laki-laki berusia antara 9 -13 tahun dan seorang anak perempuan di bawah 18 tahun saat kejadian. Sedangkan korban tidak langsung adalah anak-anak yang boleh jadi telah menonton video porno tersebut.
Pelaku utama yaitu produser video porno anak dijerat dengan pasal berlapis dari UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi, juga UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Terdakwa lainnya, yaitu dua orang ibu korban yang menyuruh atau membiarkan anaknya melakukan adegan seks dengan perempuan dewasa dan perempuan yang masih di bawah umur juga dijerat dengan pasal berlapis. Di samping itu terdapat terdakwa sebagai penghubung dan terdakwa lainnya selaku pemeran video porno yaitu seorang perempuan dewasa juga dijerat dengan pasal berlapis.
Pelaku lainnya adalah seorang anak perempuan yang masih berusia di bawah umur saat kejadian yang anehnya juga dijadikan terdakwa meski dalam sidang terpisah di Pengadilan Anak, padahal dalam perkara tindak pidana pornografi atau tindak pidana perdagangan orang biasanya pelaku anak tidak dijadikan terdakwa karena pada dasarnya ia adalah korban, bahkan perempuan dewasa pun tidak dijadikan terdakwa, contohnya dalam kasus video porno Ariel, dua orang selebritis terkenal, pemeran video porno tersebut tidak dijadikan tersangka, apalagi terdakwa.
Salah satu upaya untuk menghancurkan suatu bangsa adalah melalui pornografi. Dalam sebuah video yang dibuat oleh Kementerian Sosial RI yang pernah penulis tonton, pada intinya digambarkan bahwa pornografi sangat bebahaya terutama bagi anak karena menurut peneliti otak Jordan Grafman, orang yang terpapar pornografi bagian otak yang istimewa yang hanya terdapat pada manusia, yaitu pre frontral cortex (PFC) akan menjadi rusak.
PFC diciptakan Tuhan agar manusia memiliki etika untuk membentuk kepribadian dan perilaku sosial serta untuk membedakan benar dan salah. Kerusakan PFC akibat kecanduan pornografi akan mengakibatkan anak kehilangan konsentrasi, penurunan kemampuan menimbang benar dan salah, dan berkurangnya kemampuan mengambil keputusan.
Masih dalam tayangan video Kementerian Sosial tersebut, menurut ahli bedah otak Donald Hilton kerusakan otak akibat pornografi lebih parah daripada kerusakan otak akibat narkoba karena kerusakan otak akibat kecanduan pornografi terdapat di lima bagian sedangkan kerusakan otak akibat kecanduan narkoba terdapat di tiga bagian.
PFC mudah rusak pada anak karena PFC pada anak belum sempurna. Namun karena belum sempurna, PFC yang rusak pada anak masih mudah dibentuk melalui terapi tertentu. Oleh karena itu setiap anak yang menjadi korban kasus pornografi selayaknya mendapat perhatian dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah setempat untuk mendapat terapi tertentu agar otaknya kembali normal.
Perlindungan anak
Secara yuridis formal perlindungan terhadap anak sudah cukup memadai karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak, lalu sederet peraturan perundang-undangan pun telah tercipta, antara lain dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, secara jelas dan gamblang dinyatakan, hak anak adalah hak asasi manusia. Dengan demikian maka tanggung jawab untuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak nomor satu ada pada pundak negara.
Selanjutnya untuk melindungi hak-hak anak, telah ada UU Perlindungan Anak, yaitu UU No.23/2002, kemudian direvisi dengan UU No.35/2014, dan revisi ke-2 melalui UU No.17/2016 yang berasal dari Perpu No.1/2016 yang dikenal dengan Perpu Kebiri.
Di samping itu terdapat Perda Provinsi Jabar No.5/2006 tentang Perlindungan Anak dan Kota Bandung pun telah memiliki Perda No.10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Dalam kasus video porno yang terjadi di Kota Bandung yang perkaranya sudah sampai ke pengadilan tersebut, anak-anak yang menjadi korban dipicu oleh faktor kemiskinan.
Kendati dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, akan tetapi dalam kenyataannya perlindungan terhadap anak masih jauh dari harapan.
Agar tidak terulang lagi anak menjadi korban baik dalam tindak pidana pornografi, maupun tindak pidana lainnya, maka diperlukan komitmen yang kuat dari pihak pemerintah cq para pejabat di daerah dan juga aparat penegak hukum, juga peran serta masyarakat untuk menerapkan segala bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan anak secara konsisten dengan penuh tanggung jawab demi menyongsong masa depan yang cerah.***
Diskusi
Belum ada komentar.