//
you're reading...
ARTIKEL

Kota Kendaraan


Penulis   : Lian Lubis – Urban Designer

Sumber  : Pikiran Rakyat 7 Maret 2017

Untuk membaca dan mengunduh Klipping Klik Gambar lalu Zooom. (semoga bermanfaat)

NEWMAN  dan Jennings dalam bukunya “Kota sebagai Ekosistem yang Lestari” (2014) menuliskan, “Sebuah kota dikatakan kota mobil apabila rata-rata pemakaian bahan bakar minyak (BBM) per orang per tahun lebih dari 1.000 liter untuk mobilitas mereka. Atlanta adalah salah satu contoh kota yang bisa disebut sebagai kota mobil dengan penggunaan rata-rata BBM per orang per tahun lebih dari 3.000 liter. Sedangkan Barcelona adalah kota dengan penggunaan BBM per orang per tahun jauh lebih sedikit dari Atlanta yaitu sekitar 150 liter, hampir mendekati sebutan sebagai kota pejalan kaki dengan 100 liter BBM per orang per tahun”. Bagaimana dengan Kota Bandung yang “Jalan Dagonya mirip Barcelona” dan kota-kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bekasi dan Kota Bogor? Sepengetahuan saya belum ada penelitian tentang penggunaan rata-rata BBM per orang per tahun pada kota-kota di Indonesia.

Iseng-iseng saya “men-survey” beberapa orang di Kota Bandung yang kebetulan bisa diajak bincang-bincang pada saat bertemu di ruang-ruang publik kota ini untuk mengetahui penggunaan rata-rata BBM mereka untuk mobilitas. Rata-rata “responden” saya yang menggunakan motor menjawab pemakaian BBM untuk keperluan pergerakan mereka sekitar 5-6 liter per minggu. Jadi selama setahun (52 minggu) rata-rata pemakaian BBM antara 260-312 liter. Sedangkan untuk mereka yang menggunakan mobil rata-rata memakai BBM antara 20-30 liter per minggu, jadi selama setahun menghabiskan BBM sekitar 1.040-1.560 liter.

Dengan mengabaikan survey yang saya lakukan –Pemakaian BBM lebih dari 1.000 liter (1.040-1.560 liter) per orang per tahun sudah menunjukkan  sebagai kota mobil– namun melihat fenomena bahwa kota ini telah dipenuhi oleh kendaraan bermotor roda dua dan empat yang saling berpacu; “berseliweran” di jalan-jalan kota hingga ke jalan-jalan kecil di dalam kawasan perumahan, untuk saat ini barangkali kita sudah bisa “menyimpulkan” bahwa Kota Bandung adalah kota mobil dan juga kota motor. Tidak hanya Kota Bandung, kota-kota lainnya di Indonesia sepertinya juga bisa dikatagorikan sebagai kota mobil dan kota motor karena memiliki fenomena yang hampir sama.

Perubahan perilaku

Faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kota-kota di Indonesia, juga Kota Bandung menjadi begitu penuh sesak dengan kendaraan bermotor pribadi baik roda empat atau roda dua? Lantas, apakah dengan banyaknya kendaraan bermotor pribadi yang dimiliki warganya dapat menunjukkan tingkat kemakmuran warga kota tersebut? Salah satu riset menunjukkan,  tidak ada korelasi antara banyaknya kendaraan bermotor yang dimiliki warga suatu kota dengan tingkat kemakmuran kota itu sendiri; korelasi yang ada lebih kepada ketidaktersedian transportasi umum yang baik dan sesuai dengan kebutuhan warganya. Dengan kata lain dapat diartikan: banyaknya kendaraan pribadi di  suatu kota adalah akibat dari pemerintah yang tidak bisa memfasilitasi warganya dengan transportasi publik yang yang sesuai dengan kebutuhan warganya dan berkualitas. Akibatnya warga kota tersebut melalui berbagai cara akan memfasilitasi dirinya sendiri dengan berbagai jenis dan jumlah kendaraan bermotor pribadi untuk kebutuhan transportasi mereka. Jadi, banyaknya kendaraan bermotor bukan indikator tingkat kemakmuran warga kota tersebut.

Bila kendaraan bermotor pribadi terus dibiarkan semakin banyak memenuhi kota, bukan tidak mungkin akan terjadi perubahan perilaku warga kebanyakan. Salah satunya adalah warga kota akan lebih akrab dengan kendaraan bermotor daripada dengan sesama. Pertemanan atau perkumpulan warga berupa club-club banyak terbentuk berdasarkan kepemilikan jenis kendaraan bermotor tertentu bukan berdasarkan hubungan manusiawi. “Jika kota semakin akrab dengan kendaraan bermotor, maka kota itu menjadi kurang manusiawi”, begitu Newman dan Jennings (2014) menuliskan.

Untuk mencegah kota agar tidak semakin akrab dengan kendaraan bermotor dan menjadikannya lebih manusiawi saat ini tentu tidaklah mudah. Selama transportasi umum yang baik dan sesuai dengan kebutuhan warganya belum tersedia, warga kota akan semakin akrab dengan kendaraan bermotor pribadi. Meskipun jalur pejalan kaki (trotoar) dibuat sangat bagus dan lebar, jalan arteri dan arteri utama ditutup pada hari minggu dengan alasan “car free day”, satu hari “ngangkot” atau satu hari bersepeda, selama sistem transportasi umum tidak diterapkan dengan baik maka akan sangat tidak mungkin bisa “mengajak” warganya untuk meninggalkan kendaraan bermotor pribadi dan menjadikan kota lebih manusiawi.

Ketidaktersediaan transportasi umum yang baik juga dapat menghadirkan kondisi paradoks terhadap penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pengendara sepeda yang merupakan simbol penghargaan terhadap martabat manusia. Trotoar dan jalur sepeda yang seharusnya dipakai sebagaimana fungsinya sebagai fasilitas rekreasi dan transportasi sering kali diokupasi untuk kepentingan parkir dan dilintasi kendaraan bermotor pribadi; martabat manusia terpaksa dikorbankan untuk kepentingan kendaraan bermotor.

Yang barangkali harus juga kita cermati adalah berapa standar biaya pemakaian BBM pemerintah suatu kota dan kabupaten untuk mengoperasikan kendaraan operasional, mobil pejabat, dan anggota dewannya? Bila standar biaya pemakaian BBM dalam setahun disediakan lebih dari 1.000 liter untuk satu kendaraan, maka bisa dipastikan pemerintah kota dan kabupaten tersebut sedang “membiarkan” terjadi perubahan pada perilaku warganya; membiarkan warganya semakin akrab dengan kendaraan bermotor.   ***

Save

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Follow TandaMata BDG on WordPress.com

Pengunjung Blog

  • 205.291 hit

Pengunjung Online